17 April 2011

Petani dan Korupsi

Di sebuah lift gedung berlantai delapan kantor pusat sebuah BUMN terkemuka, seorang pegawai baru bercerita tentang susahnya menghadapi para pejabat dan birokrat. Sebagai pegawai baru dia mendapat tugas untuk bekerjasama dengan sebuah instansi pemerintah di daerah

“Saya kaget, ternyata semuanya harus pakai uang. Urusan tidak akan selesai kalau tidak diikuti dengan amplop berisi uang”, ungkapnya. “Saya jadi takut, jangan-jangan saya ikut terkontaminasi penyakit suap ini”, tambah pegawai baru, yang baru setahun lulus dari IPB dengan wajah serius.
Dengan wajah masih sangat serius dia menambahkan, alangkah bahagia bapaknya yang ada di Banjarnegara, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Rejeki yang diperoleh dari bertani dan memelihara ternak sapi benar-benar bersih dari unsur suap dan korupsi. “Saya jadi berpikir ingin seperti bapak.
Hidup bertani dan beternak di desa, bebas dari keharusan memberi suap dan menerima suap. Rejeki benar-benar didapat dari hasil keringat, bebas dari rejeki haram”, katanya dengan suara lirih.
Suara jujur dari pegawai baru ini mungkin mewakili ribuan bahkan  jutaan kalangan muda negeri ini. Ada kegelisahan, kegundahan, kekhawatiran dan kemarahan pada penyakit korupsi yang masih merajalela.
Kekhawatiran itu tentu wajar, karena faktanya korupsi memang semakin ganas, merusak dan dilakukan secara kolektif sistematis. Pernyataan sebuah lembaga anti korupsi yang menyatakan bahwa korupsi di Indonesia pasca reformasi justru semakin parah tentu ada benarnya.
Kalau dulu korupsi cenderung terpusat di Jakarta dan dilakukan kalangan eksekutif, maka sekarang aktornya semakin lengkap dari eksekutif, legislatif hingga yudikatif. Lihat saja, selain para gubernur dan bupati, para politisi dan pejabat hukum juga banyak menghuni penjara karena kasus korupsi.

Sumber:Sinartani

0 komentar: