Oleh
Margono Slamet
Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006 pada tanggal 15 Nopember 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, selanjutnya disingkat dengan UUSP3K, terbukalah sejarah baru penyuluhan di Indonesia. Sejak bertahun-tahun yang lalu adanya undang-undang ini sangat diharapkan dan dinantikan oleh banyak insan yang terlibat dalam kegiatan penyuluhan pertanian secara luas, karena tanpa undang-undang semacam itu pelaksanaan penyuluhan bagaikan tanpa landasan yang kuat dan jelas. Ini terbukti dengan naik-turunnya kegiatan penyuluhan di lapangan, yang tidak selalu mendapatkan dukungan kebijakan dan anggaran yang memadai. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa penyuluhan di bidang pertanian secara luas itu tidak pernah mantap (jelas) arah dan tujuannya. Lebih-lebih setelah memasuki era 1990-an dan lebih-lebih lagi setelah 19.9. yaitu setelah diberlakukannya Undang-Undang tentang Otonomi Pemerintah Daerah, yang menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan penyuluhan kepada pemerintah daerah, baik pemerintah propinsi maupun pemerintak kabupaten/kota. Dari kebijakan-kebijakan tentang penyuluhan pertanian yang diambil oleh berbagai pemerintah daerah jelas sekali bahwa persepsi mereka tentang arti pentingnya penyuluhan dan bagaimana penyuluhan itu harus dilakukan sangatlah beragam. Tak heran bila kelembagaan penyuluhan di daerah , misalnya, yang dengan susah payah selama bertahun-tahun dibangun selama Orde Baru, dengan mudahnya “diacak-acak” dan bahkan banyak yang dibubarkan. SDM Penyuluhan yang dengan jerih payah direkrut, dididik/dilatih, dan dikembangkan dibiarkan tak berfungsi, sehingga banyak di antaranya yang akhirnya alih fungsi, bahkan ada beberapa yang keluar dari sektor pertanian.
Kita pantas bersyukur dan berterima kasih bahwa akhirnya UU SP3K itu akhirnya dimiliki oleh Negara kita yang sampai sekarang masih tetap agraris ini. Namun setelah lebih dari setahun lahirnya UU tersebut, belum juga terlihat adanya tanda-tanda yang nyata bahwa UU tersebut telah mulai dilaksanakan dan menghasilkan perubahan-perubahan yang menggembirakan. Perlu dikaji bersama mengapa UU tersebut tidak disambut dengan semangat tinggi untuk segera dilaksanakan.
Menurut pengamatan kendala pertama yang muncul adalah masalah kelembagaan penyuluhan di daerah, baik di tingkat propinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir kelembagaan penyuluhan di daerah sudah berulang kali mengalami perubahan, dan UU 16/2006 juga mengamanatkan adanya perubahan lagi. Amanat ini bertabrakan dengan PP 8/2003. tentang struktur pemerintah daerah yang membatasi jumlah institusi/dinas di daerah, yang meskipun PP tersebut sudah diubah dengan PP 41/2007, tetap saja menyisakan kendala bagi dibentuknya Badan Koordinasi Penyuluhan di tingkat propinsi, dan lahirnya Badan Pelaksana Penyuluhan di tingkat kabupaten/kota. Rupanya selain kelembagaan penyuluhan pertanian, ada juga sektor lain yang memerlukan adanya institusi tambahan di daerah.
Rupanya Bagian III tentang Kelembagaan, khususnya Pasal 8 dalam UUSP3K masih memerlukan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden yang sampai saat penulisan ini belum juga terbit, sehingga akibatnya masalah kelembagaan penyuluhan ini, dari tingkat pusat sampai ke tingkat kecamatan, masuh belum dapat dibentuk. Akibat lebih lanjut ialah bahwa isi pasal-pasal dalam UUSP3K belum dapat dilaksanakan karena yang harus melaksanakan belum terbentuk wadah/kelembagaannya.
Selain adanya kendala “formal” itu ada pula masalah lain yang berkaitan dengan pembagian sumberdaya manusia, bila badan koordinasi/pelaksana penyuluhan harus dipisahkan dari institusi pertanian/perikanan/kehutanan asalnya. Rupanya SDM Penyuluh (tenaga fungsional) selain jumlahnya besar (dominan) juga mobilitasnya tinggi sehingga banyak fihak yang merasa memerlukan. Apalagi tingkat eselon pejabat pimpinannya setingkat dengan pimpinan dinas-dinas lain di daerah.
Untuk mempercepat pembentukan kelembagaan penyuluhan di daerah beserta struktur di dalamnya diperlukan adanya program advokasi yang berkekuatan (powerfull) di daerah. Advokasi itu selain harus dapat menjelaskan secara persuasif kepada unsur-unsur pimpinan daerah, harus pula yang mampu memberi “tekanan” akan pentingnya segera dilaksanakan amanat UU tersebut di atas. Semoga masalah kelembagaan penyuluhan ini akan segera dapat teratasi sehingga amanat UUSP3K yang bertujuan utama menyejahterakan rakyat akan dapat segera dilaksanakan.
Paradigma Penyuluhan Baru
Pada masa yang lalu (tetapi juga sampai saat ini) dipersepsikan oleh banyak fihak bahwa pemerintah dan seluruh aparat yang terkait adalah pelaku utama dan penanggungjawab pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan. Dalam kerangka persepsi ini pemerintah melakukan perencanaan dan pelaksanaan berbagai kegiatan di lapangan untuk untuk mencapai target-target produksi sesuai dengan yang direncanakan. Masih dalam kerangka pikir semacam itu, petani didudukkan sebagai alat produksi yang sepenuhnya harus dapat dikendalikan oleh pelaku utamanya, yaitu pemerintah beserta jajaran aparatnya. Diakui atau tidak, dan disukai atau tidak kenyataannya adalah seperti itu, sesuai dengan yang banyak diungkapkan dalam banyak pertemuan ilmiah di masa lalu. Konsekuensinya penyuluhan pertanian dipersepsikan pula sebagai alat produksi pula. Dengan berbagai pola pendekatan diusahakan melalui “penyuluhan” agar para petani “mau” melakukan atau melaksanakan apa yang telah direncanakan oleh pemerintah dan aparatnya tadi guna bisa mencapai target produksi.
Di masa lalu, sampai awal tahun 1980-an, sewaktu tingkat kecerdasan dan kemampuan para petani umumnya masih relatif terbatas (rendah), pendekatan semacam disebutkan di atas masih bisa dijalankan. Tetapi setelah bertahun-tahun mendapatkan peningkatan pendidikan formal dan pengalaman, kecerdasan dan kemampuan para petani meningkat secara signifikan, sehingga menjadi tidak mudah lagi diperalat dengan pendekatan seperti sebelumnya. Salah satu alasannya ialah bahwa para petani memalui pendekatan penyuluhan semacam itu tidak cukup mendapatkan insentif untuk termotivasi melaksanakan apa yang direncanakan oleh pemerintah itu.
Isu insentif atau keuntungan dalam berusahatani muncul secara cepat seiring dengan tumbuh pesatnya ekonomi uang ke perdesaan. Hal itu diperkuat dengan munculnya ekonomi pasar, di mana para petani umumnya belum memiliki kekuatan penawaran yang menjamin usahataninya dapat diandalkan sebagai tumpuan hidup keluarganya. Agar para petani bisa mendapatkan insentif yang memadai dan memiliki kekuatan penawaran dalam ekonomi pasar, petani pada umumnya memerlukan peningkatan kompetensi melalui proses pembelajaran yang tersistem, agar petani dapat berkembang kompetensi dan kekuatannya secara berkelanjutan. Ingat: petani sebagai warga negara juga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan untuk menerdaskan kehidupannya.
Dilatarbelakangi perkembangan situasi semacam itu lahirlah UUSP3K yang membawa cara pandang baru dalam melihat (pembangunan) pertanian, petani dan penyuluhan pertanian. Dalam UU itu secara jelas dan tegas dikatakan bahwa petani adalah pelaku utama kegiatan pertanian, perikanan dan kehutanan. Sebagai pelaku utama kegiatan pertanian petani menjadi faktor penentu keberhasilan pembangunan pertanian. Komponen utama dan terpenting dari faktor penentu itu adalah kemampuannya dalam berusaha tani, atau keberdayaannya dalam menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan usahatani. Kemampuan dan keberdayaan para petani itu harus secara berkelanjutan ditingkatkan agar dapat menjamin adanya pembangunan pertanian yang berkelajutan pula. Kalau pembangunan diartikan sebagai usaha sistematis meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka dengan berlangsungnya pembangunan pertanian secara berkelanjutan tadi berarti kesejahteraan rakyat akan meningkat secara berkelanjutan pula. Pertanian memang bukan satu-satunya sektor yang bisa mempengaruhi kesejahteraan rakyat, tetapi perlu diingat bahwa keberhasilan pembangunan pertanian akan menjadikan pertanian negeri ini mantap dalam mencukupi kebutuhan bangsa, dan menjadi modal utama dan landasan utama untuk dapat membangun sektor-sektor yang lain. Jadi pembangunan pertanian dengan segala daya dan upaya harus diusahaka agar berhasil. Karena keberhasilannya tergantung pada kekuatan dan kemampuan pelaku utamanya, yaitu petani, maka segala daya dan upaya harus diarahkan untuk bisa lebih memberdayakan petani. Ini merupakan kewajiban pemerintah (pusat, propinsi,kabupaten/kota) dan komponen masyarakat yang terkait dengan pertanian.
Oleh karena itu dalam bab pertimbangan yang mendasari lahirnya UUSP3K disebutkan “..... bahwa penyuluhan sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum merupakan hak asasi warga negara Republik Indonesia”.Selanjutnya tertulis “bahwa pembangunan pertanian, perikanan , dan kehutanan yang berkelajutan merupakan suatu keharusan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan bahan baku industri; memperluas lapangan kerja dan lapangan berusaha; meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan, dan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan; mengentaskan masyarakat dari kemiskinan khususnya di perdesaan; meningkatkan pendapatan nasional; serta menjaga kelestarian lingkungan;” Lebih lanjut tertulis pula “... bahwa untuk lebih meningkatkan peran sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan, diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas, andal, serta berkemampuan manajerial, kewirausahaan, dan organisasi bisnis sehingga pelaku pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan mampu membangun usaha dari hulu sampai dengan hilir yang berdaya saing tinggi dan mampu berperan serta dalam melestarikan hutan dan lingkungan hidup sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan”.
Apa yang dikutip di atas merupakan landasan pikir yang dianut pemerintah da DPR, dan merupakan kebijakan kebijakan dasar dalam pembangunan pertanian, dan oleh karenanya harus dilaksanakan dengan semestinya, baik dengan melalui implementasi semua pasal-pasal UUSP3K maupun melalui tindakan-tindakan lain yang relevan.
Sesuai dengan apa yang difahami selama ini fokus kegiatan penyuluhan adalah pada pengembangan sumberdaya manusia. Dalam pertanian, perikanan dan kehutanan fokus sasarannya pada pemberdayaan pelaku utama dan pelaku usaha, serta SDM lain yang mendukungnya. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UUSP3K bahwa tujuan pengaturan sistem penyuluhan meliputi pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan modal sosial guna memperkuat pengembangan pertanian, perikanan dan kehutanan yang maju dan modern dalam sistem pembangunan yang berkelanjutan; memberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam peningkatan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi. Selanjutnya disebutkan pula bahwa penyuluhan bertujuan mengembangkan sumber daya manusia,yang maju dan sejahtera, sebagai pelaku dan sasaran utama pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan.
Karena sistem penyuluhan diatur dengan tujuan semacam itu maka fungsi sistem penyuluhan meliputi hal-hal berikut ini sebagaimana tercantum pada Pasal 4 UUSP3K. (a) mem-fasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha; (b) mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber informasi, teknologi, dan sumber daya lainnya agar mereka dapat mengembangkan usahanya; (c) meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan pelaku utama dan pelaku usaha; (d) membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam menumbuhkembangkan organisasi menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi, produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik, dan berkelanjutan; (e) membantu menganalisa dan memecahkan masalah serta merespon peluang dan tantangan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengelola usaha; (f) menumbuhkan kesadaran pelaku tama dan pelaku usaha terhadap kelestarian fungsi lingkungan;dan (g) melembagakan nilai-nilai budaya pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan yang maju dan modern bagi pelaku utama secara berkelanjutan.
Tujuh butir tersebut di atas adalah amanat UU yang harus dilaksanakan oleh penyuluhan. Dalam implementasinya ketujuh fungsi penyuluhan itu perlu dijabarkan menjadi tugas-tugas pokok yang harus dilaksanakan. Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) penyuluhan itu banyak yang merupakan hal baru, yang perlu dipelajarai dan dikembangkan oleh para penyuluh sehingga menjadi kompetensi-kompetensi yang siap untuk melaksanakan tugas-tugas tadi di lapangan. Dari sudut kepentingan pendidikan dan pelatihan bagi para penyuluh Tupoksi dan uraian kompetensi-kompetensinya merupakan masukan yang penting untuk dikembangkan menjadi kurikulum dan materi pembelajaran dalam pendidikan dan pelatihan penyuluhan.
Setelah mempelajaru isi UUSP3K secara keselurahan serta meninjau secara khusus bebe-rapa Pasal dan Ayat yang ada di dalamnya, timbullah pertanyaan apakah dengan berbekal UU itu saja akan dapat dilaksanakan dan dicapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan pula? Menurut pandangan penulis UUSP3K itu meskipun diberi label sistem penyuluhan, namun isi UU itu baru mencakup hal-hal yang terkait penyuluhan dalam arti sempit. Penyuluhan itu untuk dan dalam implementasinya masih sangat bergantung pada komponen-komponen lain yang menjadi kewenangan atau fungsi institusi lain di luar lembaga penyuluhan yang ada. Misalnya para penyuluh dalam melaksanakan tugas penyuluhan perlu menguasai metoda dan proses penyuluhan yang dari waktu ke waktu perlu terus diperbarui dan dikembangkan. Siapa yang mempunyai tugas dan fungsi pembaruan dan pengembangan metoda penyuluhan itu. Tugas itu adalah tugas penelitian dan pengembangan yang menjadi tugas pokok lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi.
Dengan menggunakan pemikiran akademik guna mengimplementasikan tujuh fungsi tersebut di atas akan menyangkut dan memerlukan berbagai ilmu pengetahuan, baik teoritis sebagai dasar, dan praksis untuk pelaksanaan praktisnya. Diketahui bersama bahwa ilmu-ilmu pengetahuan dalam seperempat abad terakhir ini berkembang dengan sangat pesat mengikuti perkembangan kebutuhan dalam penggunaannya. Kecenderungan ini masih akan berjalan terus laju percepatan yang terus meningkat. Dalam dunia praktis sudah diyakini oleh banyak fihak bahwa kalau dikehendaki agar program-program berakhir dengan sukses maka implementasinya haruslah selalu didasari oleh ilmu pengetahuan. Demikian pula halnya dalam penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan. Kalau diinginkan adanya program-program penyuluhan yang sukses, maka implementasinya haruslah selalu didasari oleh ilmu pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Pengalaman praktis masa lalu memang sering masih diperlukan sebagai sumber inspirasi, tetapi perlu diingat bahwa situasi lapangan dan masyarakat masa lalu banyak berbeda dengan situasi masa kini, dan masih akan berbeda pula dengan situasi masa depan.
Berdasar hal-hal yang dikemukakan di atas, ada dua hal penting yang perlu difikirkan dan dilaksanakan dengan baik agar penyuluhan di bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan di masa depan dapat berjalan dengan efektif secara berkelanjutan. Dua hal penting itu adalah (1) di-bangunnya sistem penyuluhan yang komprehensif, dan (2) diadopsinya pengembangan program-program penyuluhan yang berbasis penelitian dan ilmu pengetahuan.
Sistem Penyuluhan Secara Komprehensif
Sudah sering didengar ucapan para ahli dan praktisi penyuluhan yang mengatakan bahwa penyuluh adalah ujung tombak penyuluhan. Hal itu benar, dengan pengertian bahwa jika ada ujung tombaknya tentu harus ada batang atai tangkai tombaknya, dan harus ada pula pemegang atau pemakai tombaknya. Tanpa adanya semua unsur-unsur itu ujung tombak saja tidak akan dapat berfungsi dan mencapai sesuatu hasil. Semua unsur yang berkaitan dengan tombak itulah yang dimaksud dengan sistem penyuluhan secara komprehensif.
di kutip pada akun jejarin Rayhan al-qindi
0 komentar:
Posting Komentar